Tajuk Opini Vol.1

Corona di Indonesia : Tidak Ada Romantisme Sosial Disini Bung!


Relawan Gugus Tugas Kerahkan 19 Ambulans Angkut ODP, PDP Covid-19 ...
Ilustrasi covid-19 atau novel corona virus

Hello semuanya balik lagi di blog cerita anaphora. Kali ini aku bakal sharing pendapatku  mengenai isu corona. Well, permasalahan ini menautkan banyak harapan. Harapan dari aku, kalian dan secara massif oleh rakyat Indonesia. Terutama agar permasalahannya cepat selesai dan rantai penyebaran virusnya bisa cepat terputus. Satu bulan lebih riweuhnya pandemi corona di Indonesia–tepatnya 2 kasus awal pada 4 maret—sekarang isu ini menuai banyak sorotan di berbagai media. Setiap hari, data-data disampaikan secara gamblang kepada publik. Wajar jika rakyat terkejut melihat pola eksponensial dari korban positif covid-19 ini. Saat tulisan ini dibuat, terdapat satu juta lebih kasus di seluruh dunia, khususnya di Indonesia terdapat 3.842 kasus positif covid-19. Jumlah pasien yang sembuh sebanyak 286 orang dan kasus meninggal sebanyak 327 pasien. Angka ini menunjukkan bahwa seluruh elemen pada dasarnya belum siap menangani virus ini. Virus ini tergolong contagious dan tidak bisa disamakan dengan flu, meskipun gejalanya hampir mirip dengan flu. R0(R-naught) virus corona sebesar 2.0 – 2.5 sedanglan virus flu sebesar 1.3, dan SARS (R0 4.0). R-naught merepresentasikan pola penyebaran dari sebuah penyakit. Angka R-naught 4.0 menandakan setiap satu orang terinfeksi dapat menularkan ke ±4 orang lainnya, selama orang ini tidak memiliki sistem imun yang dapat melawan virus tersebut. In a simple words Corona more than flu but less than SARS. Wajar negara berpendapatan tinggi layaknya Italia saja kewalahan mengurusi corona, apalagi jika dibandingkan dengan Indonesia tentu tidak sepadan.
Terlepas dari sebaran angka dan ketidaksiapaan tersebut, banyak hal yang sebenarnya dapat disoroti dan direfleksikan. Pertama,pemerintah dianggap kurang sigap dan solutif dalam menyelesaikan masalah corona. Saat pandemi seperti ini, DPR masih sempat-sempatnya mencari celah membahas RUU kontoversial seperti RUUKUHP dan Omnibus Law. Belum lagi isu yang disetir Bapak Menteri Yasonna Laoly terkait wacana pembebasan napi koruptor. Logis memang kapasitas lapas sudah melebihi daya tampung, namun jangan sampai hal ini justru memberi celah bagi para koruptor. Menurut saya pemerintah saat ini sangat “menye-menye”, para politisi dan kebijakannya terbilang setengah-setengah.Menggaung berbagai narasi bak buah simalakama;antara lockdown atau tidak lockdown. Memprediksi banyak perkiraan apabila negara ini harus dilockdown. Ujung-ujungnya keputusan yang diambil ialah pembatasan sosial skala dan pemerintah pusat berani menggelontarkan dana sebesar 405T didukung setumpuk jaminan kepada masyarakat. Sempat terlintas, apabila pemerintah lebih sigap sejak awal, lebih tidak memandang rendah persoalan, ya layaknya tidak membuat lelucon bahwa negara ini bebas corona, menyatakan gejalanya sama seperti flu biasa, bercanda saat negara lain kalang kabut berperang mungkin penyebaran virusnya tidak akan semassif ini.
Selain sisi pemerintah dan jajaran politisinya, sisi masyarakat juga membuat geram. Istilah anak mudanya “bikin gemes” dengan segala tingkah lakunya. Masyarakat kurang dinilai waspada dalam menanggapi isu ini, susah pula diajak kompromi dengan pemerintah. Masyarakat masih sempatnya nongkrong, masih sempatmembuat hajatan serta mengundang banyak orang tanpa rasa bersalah. Pemerintah yang menye-menye+rakyat yang sulit diatur= pesona Indonesia!. Masyarakat  masih sempatnya menyangkal bahwa nongkrong diperbolehkan apabila tidak sakit. Padahal orang tanpa gejala dapat berpotensi menjadi carrier dalam kasus ini. Selain itu, banyak masyarakat yang belum teredukasi dengan baik dan melakukan panic buying. Selain panic buying, bayangkan di situasi yang melarat seperti saat ini masih ada oknum yang melakukan penimbunan masker+hand sanitizier. Di sisi lain, masyarakat juga nekad mudik ke daerah karena di ibukota sudah tidak dapat lagi menjamin kehidupan. Hal ini menandakan potensi penyebaran covid tentunya dapat meningkat.
Permasalahan saat ini sebenarnya menjadi waktu yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk merefleksikan problematika sesungguhnya. Permasalahan yang selalu dibahas saat kontestasi politik serta menjadi tolak ukur kapasitas pemimpin. Problematika sosial seperti kesenjangan sosial—jurang antara si miskin dan si kaya—disparitas infrstruktur dan perbedaan literasi digital. Kita mulai dengan masalah menahun yang dialami negeri ini: kesenjangan sosial. Bekerja dari rumah bukan upaya yang sulit bagi pekerja di sektor formal: ambil contoh PNS. Akan tetapi, bayangkan bagaimana seorang ojek online, pedagang jajanan sekolahan, pedagang kaki lima, nelayan, supir angkot, mau bekerja dari rumah?Apa artinya sama saja dengan berani untuk tidak makan? Apa jaminan pemerintah benar-benar bisa menyasar dengan tepat ke semua kalangan masyarakat miskin? Pemerintah seharusnya memberdayakan masyarakat jauh sebelum covid-19 ini terjadi, saya pertegas memberdayakan disini artinya memastikan pendidikan dapat dirasakan dengan maksimal oleh mereka. Masyarakat teredukasi dengan baik dan mereka tidak sepenuhnya bergantung terus-menerus dengan pemerintah. Alangkah berat nasib pemerintah jika harus menopang biaya perut satu negara.That’s the art of empowerment, seharusnya rakyat tidak melulu dibuai dengan jaminan-jaminan. Mungkin perspektif saya tidak tepat diajukan saat kondisi seperti ini. Saat ini memanglah paling tepat bagi pemerintah merangkul masyarakat miskin. Paparan kesenjangan sosial yang juga sangat tinggi di media sosial juga perlu diredam. Saya yakin rakyat kurang mampu sangat tertekan baik secara eknomis dan psikologis ketika pandemi ini terjadi. Isu ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, bahwasanya apabila  hal ini tidak diselesaikan, permasalahan utamanya justru akan semakin muncul ke permukaan.
Persoalan selanjutnya terkait disparitas infrastruktur dan literasi digital. Infrastruktur, sarana dan prasarana kesehatan belum memadaimenangani covid-19 dengan cepat. Hal ini justru dialami pemerintah pusat, seharusnya pemerintah pusat menjadi contoh bagi pemerintah daerah baik dalam hal pencegahan maupun penanganan. Semenjak bekerja dan beribadah dari rumah artinya banyak kegiatan yang dilakukan secara daring. Sebenarnya dalam banyak sektor belum dapat sepenuhnya melaksanakan sistem WFH ini. Tidak hanya guru di sektor pendidikan bahkan pekerja senior di lingkup pemerintahan ataupun swasta banyak yang masih gagap teknologi dalam mentransformasikan pekerjaan ke sistem online. Pembelajaran di tingkat universitas contohnya tidak menjamin semua dosen dapat mengerti sistem perkuliahan online. Kesenjangan literasi digital dapat dengan mudah ditemui dalam sektor pendidikan. Ini artinya, perlunya pemahaman literasi yang tidak hanya sebatas membaca,menulis,dan memahami bacaan tetapi bagaimana dapat mengintegrasikan kemampuan tadi dengan teknologi yang mendukung. Artinya juga, kurikulum pendidikan belum dapat merespons permasalahan ini dengan baik.
Pandemi ini adalah saatnya merefleksikan banyak isu kemanusiaan. Menjadi manusia dan tetap memanusiakan manusia. Membatasi kontak dengan orang lain bukan berarti menghilangkan kemanusiaan. Miris melihat ada yang melempar uang begitu saja ke pedagang saat membeli barang dagangannya. Miris juga saat petugas medis dan para medis dikucilkan karena takut tertular virus. Seharusnya petugas medis didukung secara penuh bukan didiskriminasi serta dikucilkan. Selain itu, proses pengurusan jenazah korban covid-19 membuat petugas kewalahan. Mulai dari diusir, dilempar dengan batu, dimaki dengan umpatan, serta diperlakukan dengan tidak baik oleh warga setempat. Corona tidak akan pernah sirna jika rakyat Indonesia tidak terbuka pikirannya dan memahami kondisi yang terjadi saat ini. Tetap menjaga kesehatan, phsyical distancing, tidak keluyuran, tidak berkelompok, tidak berlaku egois, tidak menimbun apapun demi kepentingan sendiri, karena sejatinya pandemi ini dapat berakhir jika kita satu sama lain saling membantu.
All the best for my Indonesia !

Comments

More on This