Tajuk Opini Vol.1
Corona di Indonesia : Tidak Ada Romantisme Sosial Disini Bung!
![]() |
Ilustrasi covid-19 atau novel corona virus |
Hello semuanya balik
lagi di blog cerita anaphora. Kali ini aku bakal sharing pendapatku mengenai isu corona. Well, permasalahan ini
menautkan banyak harapan. Harapan dari aku, kalian dan secara massif oleh rakyat
Indonesia. Terutama agar permasalahannya cepat selesai dan rantai penyebaran
virusnya bisa cepat terputus. Satu bulan lebih riweuhnya pandemi corona
di Indonesia–tepatnya 2 kasus awal pada 4 maret—sekarang isu ini menuai banyak
sorotan di berbagai media. Setiap hari, data-data disampaikan secara gamblang kepada
publik. Wajar jika rakyat terkejut melihat pola eksponensial dari korban
positif covid-19 ini. Saat tulisan ini dibuat, terdapat satu juta lebih kasus
di seluruh dunia, khususnya di Indonesia terdapat 3.842 kasus positif
covid-19. Jumlah pasien yang sembuh sebanyak 286 orang dan kasus
meninggal sebanyak 327 pasien. Angka ini menunjukkan bahwa seluruh
elemen pada dasarnya belum siap menangani virus ini. Virus ini tergolong contagious
dan tidak bisa disamakan dengan flu, meskipun gejalanya hampir mirip dengan
flu. R0(R-naught) virus corona sebesar 2.0 – 2.5 sedanglan virus flu
sebesar 1.3, dan SARS (R0 4.0). R-naught merepresentasikan
pola penyebaran dari sebuah penyakit. Angka R-naught 4.0 menandakan setiap satu
orang terinfeksi dapat menularkan ke ±4 orang lainnya, selama orang ini tidak
memiliki sistem imun yang dapat melawan virus tersebut. In a simple words Corona
more than flu but less than SARS. Wajar negara berpendapatan tinggi
layaknya Italia saja kewalahan mengurusi corona, apalagi jika dibandingkan
dengan Indonesia tentu tidak sepadan.
Terlepas
dari sebaran angka dan ketidaksiapaan tersebut, banyak hal yang sebenarnya
dapat disoroti dan direfleksikan. Pertama,pemerintah dianggap kurang sigap dan
solutif dalam menyelesaikan masalah corona. Saat pandemi seperti ini, DPR masih
sempat-sempatnya mencari celah membahas RUU kontoversial seperti RUUKUHP dan
Omnibus Law. Belum lagi isu yang disetir Bapak Menteri Yasonna Laoly terkait
wacana pembebasan napi koruptor. Logis memang kapasitas lapas sudah melebihi
daya tampung, namun jangan sampai hal ini justru memberi celah bagi para
koruptor. Menurut saya pemerintah saat ini sangat “menye-menye”, para
politisi dan kebijakannya terbilang setengah-setengah.Menggaung berbagai narasi
bak buah simalakama;antara lockdown atau tidak lockdown. Memprediksi banyak
perkiraan apabila negara ini harus dilockdown. Ujung-ujungnya keputusan
yang diambil ialah pembatasan sosial skala dan pemerintah pusat berani menggelontarkan dana
sebesar 405T didukung setumpuk jaminan kepada masyarakat. Sempat
terlintas, apabila pemerintah lebih sigap sejak awal, lebih tidak memandang
rendah persoalan, ya layaknya tidak membuat lelucon bahwa negara ini bebas
corona, menyatakan gejalanya sama seperti flu biasa, bercanda saat negara lain
kalang kabut berperang mungkin penyebaran virusnya tidak akan semassif ini.
Selain
sisi pemerintah dan jajaran politisinya, sisi masyarakat juga membuat geram.
Istilah anak mudanya “bikin gemes” dengan segala tingkah lakunya. Masyarakat
kurang dinilai waspada dalam menanggapi isu ini, susah pula diajak kompromi
dengan pemerintah. Masyarakat masih sempatnya nongkrong, masih sempatmembuat
hajatan serta mengundang banyak orang tanpa rasa bersalah. Pemerintah yang menye-menye+rakyat
yang sulit diatur= pesona Indonesia!. Masyarakat masih sempatnya menyangkal bahwa nongkrong diperbolehkan
apabila tidak sakit. Padahal orang tanpa gejala dapat berpotensi menjadi carrier
dalam kasus ini. Selain itu, banyak masyarakat yang belum teredukasi dengan
baik dan melakukan panic buying. Selain panic buying, bayangkan di situasi yang
melarat seperti saat ini masih ada oknum yang melakukan penimbunan masker+hand
sanitizier. Di sisi lain, masyarakat juga nekad mudik ke daerah karena di
ibukota sudah tidak dapat lagi menjamin kehidupan. Hal ini menandakan potensi
penyebaran covid tentunya dapat meningkat.
Permasalahan
saat ini sebenarnya menjadi waktu yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk
merefleksikan problematika sesungguhnya. Permasalahan yang selalu dibahas saat
kontestasi politik serta menjadi tolak ukur kapasitas pemimpin. Problematika
sosial seperti kesenjangan sosial—jurang antara si miskin dan si
kaya—disparitas infrstruktur dan perbedaan literasi digital. Kita mulai dengan
masalah menahun yang dialami negeri ini: kesenjangan sosial. Bekerja dari rumah
bukan upaya yang sulit bagi pekerja di sektor formal: ambil contoh PNS. Akan
tetapi, bayangkan bagaimana seorang ojek online, pedagang jajanan sekolahan,
pedagang kaki lima, nelayan, supir angkot, mau bekerja dari rumah?Apa artinya sama
saja dengan berani untuk tidak makan? Apa jaminan pemerintah benar-benar bisa
menyasar dengan tepat ke semua kalangan masyarakat miskin? Pemerintah seharusnya
memberdayakan masyarakat jauh sebelum covid-19 ini terjadi, saya pertegas
memberdayakan disini artinya memastikan pendidikan dapat dirasakan dengan
maksimal oleh mereka. Masyarakat teredukasi dengan baik dan mereka tidak
sepenuhnya bergantung terus-menerus dengan pemerintah. Alangkah berat nasib
pemerintah jika harus menopang biaya perut satu negara.That’s the art of
empowerment, seharusnya rakyat tidak melulu dibuai dengan jaminan-jaminan.
Mungkin perspektif saya tidak tepat diajukan saat kondisi seperti ini. Saat ini
memanglah paling tepat bagi pemerintah merangkul masyarakat miskin. Paparan
kesenjangan sosial yang juga sangat tinggi di media sosial juga perlu diredam. Saya
yakin rakyat kurang mampu sangat tertekan baik secara eknomis dan psikologis
ketika pandemi ini terjadi. Isu ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
pemerintah, bahwasanya apabila hal ini
tidak diselesaikan, permasalahan utamanya justru akan semakin muncul ke
permukaan.
Persoalan
selanjutnya terkait disparitas infrastruktur dan literasi digital. Infrastruktur,
sarana dan prasarana kesehatan belum memadaimenangani covid-19 dengan cepat.
Hal ini justru dialami pemerintah pusat, seharusnya pemerintah pusat menjadi
contoh bagi pemerintah daerah baik dalam hal pencegahan maupun penanganan.
Semenjak bekerja dan beribadah dari rumah artinya banyak kegiatan yang
dilakukan secara daring. Sebenarnya dalam banyak sektor belum dapat sepenuhnya
melaksanakan sistem WFH ini. Tidak hanya guru di sektor pendidikan bahkan
pekerja senior di lingkup pemerintahan ataupun swasta banyak yang masih gagap
teknologi dalam mentransformasikan pekerjaan ke sistem online. Pembelajaran di
tingkat universitas contohnya tidak menjamin semua dosen dapat mengerti sistem
perkuliahan online. Kesenjangan literasi digital dapat dengan mudah ditemui
dalam sektor pendidikan. Ini artinya, perlunya pemahaman literasi yang tidak
hanya sebatas membaca,menulis,dan memahami bacaan tetapi bagaimana dapat
mengintegrasikan kemampuan tadi dengan teknologi yang mendukung. Artinya juga,
kurikulum pendidikan belum dapat merespons permasalahan ini dengan baik.
Pandemi
ini adalah saatnya merefleksikan banyak isu kemanusiaan. Menjadi manusia dan tetap
memanusiakan manusia. Membatasi kontak dengan orang lain bukan berarti
menghilangkan kemanusiaan. Miris melihat ada yang melempar uang begitu saja ke pedagang
saat membeli barang dagangannya. Miris juga saat petugas medis dan para medis
dikucilkan karena takut tertular virus. Seharusnya petugas medis didukung
secara penuh bukan didiskriminasi serta dikucilkan. Selain itu, proses
pengurusan jenazah korban covid-19 membuat petugas kewalahan. Mulai dari
diusir, dilempar dengan batu, dimaki dengan umpatan, serta diperlakukan dengan
tidak baik oleh warga setempat. Corona tidak akan pernah sirna jika rakyat
Indonesia tidak terbuka pikirannya dan memahami kondisi yang terjadi saat ini. Tetap
menjaga kesehatan, phsyical distancing, tidak keluyuran, tidak berkelompok, tidak
berlaku egois, tidak menimbun apapun demi kepentingan sendiri, karena sejatinya
pandemi ini dapat berakhir jika kita satu sama lain saling membantu.
All the best for my Indonesia !
All the best for my Indonesia !
Comments
Post a Comment